DPR-RI Desak Polisi Teliti dan Telusuri Kembali Kasus Kematian Vina

Guruh Ismoyo - Jumat, 31 Mei 2024 23:03 WIB
(Istimewa)
Ilustrasi Vina Cirebon

Kitakini.news -KepolisianDaerah Jawa Barat (Polda Jabar) diminta melakukan pemeriksaan secara terliti danmenelusuri kembali dugaan adanya peradilan sesat dalam kasus kematian Vina danEky di Cirebon 8 tahun silam. Sebab, pada kasus ini banyak kejanggalan yangmuncul.

"Sebagaicontoh ada 2 orang yang menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) yang kemudiandihapus dari daftar dengan alasan nama fiktif dan asal sebut. Namun akhirnyadikoreksi jumlah tersangka pembunuhan yang tadinya 11, menjadi 9 orang," terangAnggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), TaufikBasari di Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Sepertidiketahui, 2 nama yang dihapus dari DPO adalah Dani (28) dan Andi (31), seusai Polisimenangkap Pegi Setiawan alias Perong yang disebut sebagai otak pembunuhan Vinadan Eky.

Meresponhal itu, Taufik mengatakan kejanggalan lain yakni Polisi baru menangkap Pegisetelah 8 tahun kasus berlalu dan mendapat atensi publik.

Taufik mempertanyakan upaya pihak Kepolisian, terlebih jika benar sesuaipengakuan ibu Pegi, Polisi sudah pernah ke rumah Pegi dua hari setelah kejadian(Tahun 2016), ketika itu dua motor Pegi dan adiknya sempat dibawa namun tidak adatindak lanjut.

"Ini menjadi janggal juga jika benar pada 2016 lalu ternyata pihak kepolisiansudah pernah ke rumah Pegi. Jika saat itu memang ada bukti kuat kenapa tidaklangsung ditangkap, kenapa harus menunggu delapan tahun setelah kasus kembaliheboh?" tukasnya.

Kemudianhal lain yang perlu dikritisi, sambung Taufik, adalah pengakuan dariorang-orang yang sudah ditangkap dan disiksa.

"Sesuai yang dikutip beberapa media, terpidana Saka Tatal yang sudah dibebaskanmengaku terpaksa mengakui terlibat pembunuhan Vina dan Eky karena tidak kuatdisiksa polisi. Ucil atau Rivaldi juga mengaku sebenarnya dia adalah pelakutindak kejahatan lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus Vina," bebernya.

Taufik juga mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaanpada 28 September 1998 melalui UU No. 5/1998. Sayangnya, kasus penyiksaan masihterus saja berulang.

"Penuntut umum dan hakim di pengadilan juga harus memperhatikan bahwaketerangan yang diberikan dengan penyiksaan tidak bernilai sebagai alat bukti.Ini penting agar fakta yang terungkap di persidangan merupakan fakta yang validdan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," tegas Taufik.

Selain itu, Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip danStandar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian NegaraRepublik Indonesia juga seharusnya bisa dipedomani sehingga praktik penyiksaandan peradilan sesat bisa dihindari.

Taufik juga mendorong agar Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebagai instansi yangmemiliki kewenangan pengendalian terhadap perkara (Dominus Litis) juga dapatmeneliti proses penuntutan yang dahulu dilakukan dalam kasus Vina dan Ekysebagai tanggung jawab penanganan perkara.

"Tentu kita berharap jangan pernah ada lagi peradilan sesat terjadi di negeriini. Dari peradilan sesat pada kasus Sengkon-Karta di Bekasi, Lingah-Pacah diKetapang, Risman Lakoro-Rostin di Boalemo Gorontalo, Devit-Kemat di Jombang,Andro-Benges di Cipulir, semestinya jadi pelajaran bagi kita untuk memperbaiki penegakan hukum," pungkasnya. (**)

Editor
: Redaksi

Tag:

Berita Terkait

Hukum & Kriminal

Tiga Bulan Jadi DPO Kasus Pencurian, Viki Akhirnya Ditangkap Polisi

Hukum & Kriminal

Komite PBB Minta Indonesia Bantu Yakini Negara-negara Lain Terima Palestina Sebagai Anggota Penuh

Hukum & Kriminal

Pemberhentian Ketua KPU-RI Tak Akan Ganggu Pelaksanaan Pilkada 2024

Hukum & Kriminal

Muhaimin "Lempar" Kritik Pedas Terhadap Usulan Mantan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy

Hukum & Kriminal

Johar Arifin: Jangan Bebankan UKT ke Mahasiswa, PTN Harus Cari Dana Sendiri

Hukum & Kriminal

Barang Asal Cina Akan Dikenakan Tarif Bea Masuk 200 Persen, Darmadi: Mendag Harus Hati-Hati Dengan Rencananya