Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap

Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Terus Berkembang
Azzaren - Kamis, 18 Juli 2024 13:00 WIB
Teks foto : Psikolog Pendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant, Kiki Fatmala Sari. (Ade)

Kitakini.news - KementerianPendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menyebutsaat ini sudah ada sekitar 40.000 sekolah Satuan Pendidikan PenyelenggaraPendidikan Inklusif (SPPPI) yang merupakan penugasan wajib untuk menyediakanminimal satu sekolah inklusi tingkat menengah atas per kabupaten/kota, sertasatu sekolah inklusi tingkat dasar dan satu sekolah inklusi tingkat menengahpertama per kecamatan.

Namun,perkembangan secara kuantitas ini tidak beriringan dengan kesiapan sekolah dalammenjalankan program tersebut.

Penerapanpendidikan inklusif sejauh ini masih terbatas pada jumlah sekolah yang tersediauntuk menerima peserta didik ABK.

Tetapi,kesiapan sekolah dalam penyelenggaraannya, terutama kesiapan guru dankapabilitasnya untuk mendidik ABK masih belum maksimal.

Makanya,kebanyakan sekolah dinilai masih belum siap menerapkan pendidikan inklusifsesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan tersebut.

PsikologPendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant,Kiki Fatmala Sari, menyebutkan salah satu permasalahan adalah terbatasnya gurupembimbing khusus (GPK).

"Dalampendidikan inklusif ini, ABK didampingi oleh guru pendamping khusus. GPK inilahyang akan membantu anak-anak ini untuk menjalani program pendidikan disekolahnya. Namun, saat ini untuk keberadaan GPK itu sangat terbatas," ungkapKiki, Kamis (18/7/2024).

Dijelaskannya,dalam pendidikan inklusif, peserta didik ABK ini digabung dengan anak-anaklainnya di sekolah reguler.

Inibertujuan agar anak-anak dengan kelainan baik fisik, emosional, mental,intelektual, maupun sosial, serta anak-anak dengan potensi kecerdasan dan bakatistimewa itu bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak padaumumnya.

"Namun,dalam menjalani pendidikan di sekolah reguler tersebut, peserta didik ABK iniharus didampingi oleh GPK yang memang ditugaskan secara khusus untukmendampingi mereka," ujar Kiki.

Tapi,kenyataannya tak semua peserta didik ABK di sekolah inklusi memiliki GPK. "Akhirnyamereka hanya mengikuti aktivitas yang sama seperti anak reguler, tanpamengoptimalkan kemampuan yang dimiliki berdasarkan karakteristik kekhususannya.

"GPKitu sendiri tugasnya membimbing ABK sesuai dengan programnya. ABK ini kanmemiliki karakteristik sendiri, memiliki kelebihan dan kekurangannyatersendiri," lanjut perempuan yang juga menjabat Koordinator Program Inklusi diYayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) Medan itu.

Berdasarkandata Kemendikbudristek pada Desember 2023, dari sebanyak 40.164 satuanpendidikan di Indonesia yang memiliki peserta didik ABK, hanya 5.956 sekolah,atau sekitar 14,83 persen saja yang memiliki GPK.

Sementaradi Sumatera Utara sendiri, saat ini sudah ada 1.767 sekolah SPPPI denganpeserta didik ABK, dimana sebanyak 237 sekolah diantaranya ada di Kota Medan,mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga sekolah dasar (SD),sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

Kikimenyebutkan GPK harus bisa memahami kurikulum, karena perlu dilakukanpenyesuaian pada kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan inklusif.

Inidilakukan karena dengan keterbatasannya, sebagian besar peserta didik ABK tidakakan bisa mengikuti kurikulum reguler.

SehinggaGPK harus mampu merancang program pembelajaran khusus, disebut IndividualizedEducation Program (IEP) atau Program Pendidikan Individual (PPI).

"Sebagianbesar sekolah yang memiliki GPK, mereka itu belum memahami tentang adanyaprogram pendidikan individual. Jadi, selama ini beberapa sekolah yang sayaperhatikan, GPK hanya mendampingi anak tanpa dia memiliki program khusus untukanak itu," kata alumni Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara itu lagimenambahkan.

Padahal,seharusnya GPK memiliki program individual untuk anak agar anak ini bisamencapai hal yang belum mampu dilakukannya dan mengoptimalkan kemampuan anak.

"Anakyang special needs, anak yang disabilitas, atau ABK, mereka berhak untuksekolah di sekolah mana saja. Sebagian masyarakat juga berpikir, ketika diamemiliki ABK, berpikiran bahwa mereka sekolah di SLB (sekolah luar biasa).Padahal, alternatif juga bisa di sekolah inklusi, terutama untuk anak yangtidak memiliki masalah intelektual yang berat," pungkas Kiki mengingatkan.

Editor
: M Iqbal

Tag:

Berita Terkait