Kitakini.news - Anggota DPD RI, Ust H Dedi Iskandar Batubara menyebutkan bahwa momentum Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ajang bagi para pemuda khususnya mahasiswa untuk menguji sejauh mana nilai kritis anak muda terhadap keberlangsungan bangsa. Dalam hal ini, ia menitikberatkan kepada kecerdasan moral, dimana hal itu berkaitan erat dengan pendidikan dan politik.
"Salah satu fakta yang tak bisa dibantah adalah, banyak masyarakat yang alergi terhadap politik. Berusaha memisahkan antara politik dengan urusan lain di luar politik. Ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa semua ranah tersebut punya garis demarkasi masing-masing. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik," ujar Dedi Iskandar Batubara, Senin (18/12/2023).
Terhadap relasi antara politik dan pendidikan, kata Dedi Iskandar Batubara, ada yang berusaha memisahkan antara politik dan pendidikan. Biasanya mengatakan bahwa education is outside politics (pendidikan berada di luar politik). Lawannya adalah orang yang berpendapat education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan).
"Kelompok pertama beralasan bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Keduanya harus dipisahkan untuk menjaga otonomi pendidikan dan profesionalitas tenaga pendidikan dari intervensi kekuasaan. Sementara kelompok kedua beralasan bahwa pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk menanamkan ideologi negara. Membentuk karakter masyarakat, serta fakta bahwa banyak penyelenggaraan lembaga pendidikan yang bergantung pada bantuan negara," sebut Ketua PW Al-Washliyah Sumatera Utara ini.
Kedua cara pandang masyarakat terhadap relasi politik dan pendidikan ini sebut Dedi Iskandar Batubara, terjadi secara universal di semua negara. Dari negara yang menganut sistem demokratis, hingga yang setia pada sistem monarki, baik adidaya hingga negara berkembang, dari negara liberal, hingga negara yang mencantumkan agama sebagai dasar ideologinya. Realitas ini sebenarnya wajar dan lumrah karena dua alasan, sosio-historis dan idealisme-profesional.
"Pertama, secara sosio-historis banyak masyarakat yang kecewa terhadap penyelenggara negara. Kekecewaan ini terjadi karena banyak faktor. Misalnya intervensi kekuasaan yang dianggap terlalu jauh terhadap dunia pendidikan. Tidak ada koherensi yang jelas antara proses pembentukan karakter di dunia pendidikan, dengan perilaku politisi setelah berkuasa. Politik hanya menjadikan pendidikan sebagai objek dari kekuasaan, dan masih banyak lagi.
Kedua, secara idealisme-profesional, banyak orang meyakini bahwa proses pendidikan tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Pendidikan murni untuk ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter. Sedangkan politik adalah seni mengatur dan mengelola negara. Jika keduanya dicampuradukkan, maka ada potensi produk ilmu pengetahuan hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik," urai Calon Anggota DPD RI nomor urut 7.